[ BACK ]
SENI
RUPA
Visi Estetik dan Kuratorial Kolektor
Oleh:ERIYANDI
BUDIMAN
Seniman
Kesejatian, konon akan membawa seseorang pada kreativitas dan agresivitas, yang dalam beberapa hal akan mengusik kesadaran masyarakat pada umumnya.
Seorang seniman sejati, akan selalu berupaya menciptakan karya-karya kreatif, dan secara agresif mampu mengomunikasikan gagasan cemerlangnya. Ia juga akan selalu aktif mengikuti perkembangan seni, dan secara agresif turut dalam peta perkembangan tersebut, bahkan bisa jadi akan menjadi trendsetter karena ia memang berupaya ke arah itu. Begitu pula dengan kolektor seni. Seperti kolektor lukisan, kolektor lukisan sejati juga akan aktif dan agresif.
Demikian uraian Aming D. Rachman, kurator GaleriKita, dalam sambutannya di Pameran Koleksi Edi Sugiri, 22 Juni s.d. 21 Juli 2007, di The Peak, Parongpong, Kab. Bandung. Cara pandang Aming yang serius ini, tentu saja mengindikasikan betapa pentingnya sebuah pameran yang dihadirkan oleh seorang kolektor. Khususnya dalam persoalan penyebaran dan penguatan apresiasi publik.
Di Indonesia, misalnya, nama Oei Hong Jien, tentu sudah tak asing lagi. Bandar tembakau dari Magelang yang juga dokter itu, dikenal sebagai kolektor lukisan pelukis Indonesia dari zaman Affandi hingga kontemporer. Di rumah dan museumnya, konon sudah terkumpul ribuan karya lukis berkelas masterpiece, yang secara finansial bernilai triliunan rupiah. Qua estetetik dan ekonomi, karya-karya yang terkumpul itu bahkan bisa dikatakan melebihi koleksi museum yang dipunyai negara.
Di balik itu, tentu ada semacam kecintaan tinggi, yang membuat Oei Hong Jien menjadi kolektor terkemuka. Kegilaan semacam itu, yang tentu saja memakan waktu dan proses seleksi yang ketat, tidak dipunyai sembarang orang. Di Indonesia mungkin banyak orang kaya, yang bahkan tak berminat terhadap karya lukis, apalagi karya lukis yang terbilang sulit diapresiasi masyarakat awan.
Dalam pemahaman tertentu, kolektor bisa berupa orang atau infrastruktur penting. Keberadaan kolektor, membuat poros kehidupan seni atau seniman saling mengeratkan dan terpaut satu sama lain. Kolektor yang serius tentu harus punya wawasan seni yang tinggi sebagai dasar dalam mengoleksi karya lukis. Kolektor seni sejati umumnya memang mengoleksi karya lukis untuk dimiliki, tetapi ada pula yang menggunakan karya seni sebagai aset masa depan. Ada pula yang menyebutnya kolekdol, atau kolektor yang memang berbisnis dalam bidang seni lukis. Ia membeli karya lukis untuk dijual lagi. Kolekdol umumnya membeli lukisan secara borongan agar bisa membeli dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi.
Dalam beberapa hal, kolektor bisa pula berfungsi sebagai kritikus. Ia akan menyelia lukisan mana yang menurutnya pantas untuk dikoleksi. Ia tentu dapat menolak lukisan-lukisan tertentu bila menurut selera dan pengetahuannya, karya tersebut tidak layak koleksi, atau memang jauh dari seleranya. Kritik yang kuat dari seorang kolektor terkadang dapat memengaruhi perkembangan pasar seni rupa/lukis. Kita paham, bahwa angka-angka fantastis untuk harga sebuah lukisan di balai lelang misalnya, sangat dipengaruhi sifat kritis kolektornya.
Namun, persoalan mengoleksi juga membuat sebuah tatanan baru, yang pernah disebut Sanento Yuliman sebagai pemasungan karya. Karena memang, setelah dikoleksi secara pribadi, karya lukis tersebut lenyap dari perhatian publik. Karya lukis menjadi terbekukan di wilayah privat. Ia terpasung. Terberangus.
Maka, pameran koleksi Edi Sugiri, yang dikenal sebagai kolektor sejati setelah Ciputra dan Oei Hong Jien, di The Peak tersebut, bisa dikatakan memecah kebekuan wilayah privat itu. Pameran karya koleksi memang bisa dikatakan jarang, atau bahkan sangat langka. Pada umumnya, kolektor lukisan tak pernah memamerkan lagi karya koleksinya kepada publik. Baik sebagai ekspresi pribadi, apalagi sebagai semacam layanan apresiasi buat publik.
Pada pameran kali ini, hadir karya pelukis bersejarah seperti Hendra Gunawan dengan karyanya “Minum Sirop” yang merupakan salah satu dari rangkaian karya terbaiknya. Karya ini berupa figur manusia sederhana yang melar dengan warna-warna mencolok. Hadir juga karya Mochtar Apin yang berupa abstraksi gadis telanjang. Jika tak ada pameran ini, akan sangat sulit bagi kita untuk menikmati lukisan semacam karya Hendra Gunawan, yang kini bisa mencapai harga Rp 650 juta. Lukisan ini juga bersanding dengan lukisan pelukis papan atas saat ini seperti karya abstrak Sunaryo (“Serenade II”), dan realisme yang kuat dalam detail karya Rosid (“Menyembah”) dalam format besar.
Ada juga karya menarik dari Yuyun, “Neighbourhoods II”, yang merupakan gabungan lanskapis yang menguatkan gaya grafis Bandung yang dicampur bentukan awan natural yang manis dan indah. Ada juga karya Budi Eka Putra berjudul “Menembus Batas” yang sangat kuat dalam warna merah menyala dengan detail mirip perahu atau bulan sabit serta bentuk abstraksi dengan goresan potlot yang kuat dan dinamis.
Begitu pula karya Ismet ZE yang membawa kita pada peradaban Eropa kuno penuh mantra dan manusia setengah hewan dalam “Elysioum Turtarus” dan “A Holly Couple”. Ada pula karya yang mengolah efek blur fotografi dari Willy Himawan dalam karyanya “Nude” dan “Pedestrian”. Hadir pula karya berjudul “Makan Nasi Aking” dari Moch. Rizal yang merupakan salah satu karya pemenang (lima besar) Kompetisi Seni Lukis Jabar 2007. Kubu kontemporer lainnya, juga diwakili Irman Rachman, Turino, Syahfadil, Hary Cahaya, Redha, Tatang BSP, Masdibyo, dan Gino Suparna. Sedangkan karya abstrak yang kuat diwakili Andry Dewantoro dalam karya “Forest” dan “Face II”, serta Dadan Setiawan dalam karya “Whatgrass No. 7”.
Karya dari 18 pelukis yang berjumlah 30 buah ini, tentu juga memperlihatkan cita rasa sang kolektor, yang dalam beberapa hal kuat dalam visi estetiknya. Bagaimanapun juga, dalam sebuah pameran koleksi, seorang kolektor juga telah berperan sebagai kurator. Ia telah berupaya menampilkan sedikit karya dari sekian koleksinya. Sang kolektor tentu berjuang keras untuk menampilkan dan menyeleksi karya-karya tersebut dalam sebuah format pameran lewat serangkaian proses berpikir, yang mirip kerja seorang kurator.
"Saya memang tidak pernah menganggap lukisan-lukisan koleksi saya sebagai barang. Saya tetap menganggapnya sebagai karya. Sesuatu yang harus dijaga dan dipelihara dengan baik. Jika pun saya bangkrut, yang akan saya jual terlebih dahulu adalah barang, bukan karya!" tutur Edi Sugiri, di sela-sela kesibukannya melayani pengunjung dan memberi konsultasi kepada orang yang berniat menjadi kolektor lukisan.
Meski bisa dikatakan berperan sebagai kurator dalam pameran ini, tentu sang kolektor tidak berniat menjadi kurator. Karena bagaimana pun, itu sebagai dunia atau wilayah yang berbeda. Yang terpenting, semangat dari pameran seperti ini, tentu akan sangat baik jika diikuti oleh kolektor-kolektor lainnya. Dengan hal itu, publik dapat tetap menyaksikan karya-karya terbaik para pelukis tersebut. Sehingga, tak ada karya yang kelewat beku untuk dihirup dan dinikmati. Tak ada karya yang dipasung diberangus aura estetiknya karena ia telah melangkah dari dunia yang mempribadi, menjadi dunia yang terbuka kembali.
Jika diberi catatan kuratorial, pameran karya koleksi seperti ini, tentu juga akan melahirkan suatu tema atau topik tertentu. Ia bisa memperlihatkan sebuah visi estetik, baik mengenai aliran, komposisi, pembidangan, pola garis yang mempribadi, atau bahkan keberpihakan tertentu secara sosial. Bisa pula ia melahirkan sebuah wacana baru yang mungkin sebelumnya tak terpikirkan.***
Source: www.pikiran-rakyat.com